Photo by Nurul Noe |
Beberapa jam sebelum menulis ini, aku duduk di pinggiran stasiun Pondok Cina. Tukang ojek berkali-kali nawarin nganter pulang, aku geleng-geleng. Nanti bang, mau duduk dulu. Orang lalu lalang, ojek datang pergi, aku tetep cuma duduk. Selonjorin kaki, pasang headset, puter lagu Semesta-nya Maliq & D'Essentials, liat ke langit.
Aku senderin kepalaku ke pagar stasiun, keringetku netes satu satu, mukaku lepek lengket dan gerahnya luar biasa. Beberapa menit sebelum duduk ini, aku baru aja berdiri satu jam lebih di commuter line jurusan Jakarta Kota - Pondok Cina. Bukan sekedar berdiri, tapi ini berdiri yang gerakin kakipun nggak bisa. Bahkan mau gerakin tangan buat liat hape aja nggak muat. Saking sesaknya, saking penuhnya. Badanku sampai basah kuyup karena keringat padahal itu kereta full AC.
Di dalam kereta itu ada ibu-ibu hamil dan ibu dengan balita yang rebutan kursi prioritas, yang kebetulan tinggal sisa satu. Si ibu hamil udah hampir nangis karena pasti dia nggak terbayang harus berdiri di kereta sepenuh itu, si balita dari ibu yang satu udah pucat, minta duduk. Orang-orang yang duduk di bangku lain udah nawarin buat gantian, tapi gimana, dua ibu ini enggak bisa kemana-mana. Karena kereta beneran sesak, bergerak sedikit aja susah.
Akhirnya si adek digendong pak security yang kebetulan berdiri dekat (karena mereka memang selalu berdiri dekat kursi prioritas, ya). Si adek meluk si bapak security yang mungkin terasa asing, tapi dia lelah, dia cuma tau itulah satu-satunya yang bisa dipeluk. Lalu dia tertidur dan si bapak menggendong selama perjalanan.


Kemarin malam lain cerita, aku duduk di atas motor hampir 2 jam. Dari Tomang ke Depok, jam pulang kerja. Dua jam yang isinya cuma asap knalpot, orang maki-maki di jalanan, bising klakson, dan macet yang nggak ada habisnya. Dua jam. Mas Rian, orang yang membonceng aku bilang, ya beginilah dia setiap hari. Setiap hari.
Malam ini langit lagi cerah, bintangnya banyak. Sambil masih liat ke atas, berkali-kali aku ambil napas panjang. Pikiranku sampai ke satu hal: Aku... di ibukota.
**
Aku memang lahir dan besar di Jakarta, tapi aku benci hidup di ibukota ini. Iya, aku membenci tanah lahirku sendiri. Jakarta terlalu ganas buat aku, terlalu sombong, terlalu menakutkan. Aku merantau ke Purwokerto 9 tahun lalu dan itulah keputusan terbaik dalam hidupku. Sekarang kalau ditanya asli mana, rumahnya dimana, pulangnya kemana, jawabanku sudah pasti Purwokerto.
Sebulan lalu ada 3 pekerjaan yang bikin aku harus ke Jakarta. Berbekal ijin dan restu suami, aku berangkat, bawa Jiwo. Aku menantang diri sendiri untuk melawan ibu kota, tanah lahir yang membuatku memilih pergi 9 tahun lalu. Bukan pekerjaan tetap memang, hanya kontrak hitungan bulan dan sekarang sudah mau jalan setengahnya. Tapi untuk perempuan yang sudah 9 tahun hidup di Purwokerto, kerja di Jakarta meskipun sementara, tentu bukan hal sepele.
Sebulan ini rasanya bener-bener wow. Ibarat makan mie rebus telor cabe rawit, ini tuh mie rebus dicampur es krim woku woku yang cokelatnya meleleh itu lho. Nikmat sekaligus absurd.
Capek? Pasti. Harus kerja seharian, meeting after meeting, dan rumah papa tempat aku tinggal selama di sini, tuh daerah Depok. Jakarta coret yang kemana-mana jauh. Tiap ke kantor, adekku bilang, "Lu mau ngantor apa mau naik haji? Jauh amat!".
Sebelum berangkat kerja harus mandiin dan nyuapin Jiwo sarapan dulu. Pulang kerja yang rasanya remuk banget itu, masih harus nyuci baju, nyetrika, dan nyuapin Jiwo makan malam, terus ngelonin dia tidur. Kalau dia udah tidur, berarti waktunya aku ngeblog. Menuntaskan pekerjaan-pekerjaanku sebagai blogger.
Sebelum berangkat kerja harus mandiin dan nyuapin Jiwo sarapan dulu. Pulang kerja yang rasanya remuk banget itu, masih harus nyuci baju, nyetrika, dan nyuapin Jiwo makan malam, terus ngelonin dia tidur. Kalau dia udah tidur, berarti waktunya aku ngeblog. Menuntaskan pekerjaan-pekerjaanku sebagai blogger.
Sedih? Iya, ada. Sedih karena saat aku lagi sangat sangat lelah dan sumpek sama deadline, nggak ada suami yang bisa aku peluk. Enggak ada partner berbagi capek, semuanya aku selesaikan sendiri. Paling pelampiasannya ke adek. Suka aku selepetin pahanya sampai merah-merah, trus aku senang. hahahahahaha kakak yang baik.
Tapi entah ya, di atas itu semua, aku bahagia dan menikmati hari-hariku di Jakarta ini. Aku menikmati setiap berdiri di commuter line dan ngerasain keringetku netes satu-satu. Aku menikmati naik turun ojek di bawah matahari terik. Aku menikmati setiap pagi yang rasanya berat tapi aku tau hariku akan punya keseruan baru. Aku menikmati pegal-pegal setiap malam yang bikin tidur jauh lebih nyenyak dari biasanya. Aku menikmati setiap waktuku sama Jiwo yang serba terbatas.
Dua minggu ini aku menemukan Jakarta sedang mengajakku berdamai, rasa yang asing tapi seru. Aku selalu nyetel lagu-lagu kesukaan di hape dengan volume keras pakai headset selama berdiri di commuter line. Semua orang udah bermuka masam, bau ketek, dan aku masih bisa senyum senyum sendiri cuma karena lagu di telingaku enak.
Aku naik ojek online setiap hari dan abangnya ganti-ganti. Walaupun di bawah terik matahari, tapi ngobrol sama mereka itu menyenangkan. Kadang kisahnya dramatis dan sedih, kadang lucu sampe kita ngakak bareng di motor, kadang dapet abang yang hidupnya sengsara banget, pernah dapet abang ternyata bos kantoran lagi jenuh, kadang abangnya masih muda dan ganteng, pernah dapet abang bau keringetnya subhanallah kujadikan ujian selama perjalanan. hahahahaha
Aku makan gorengan pinggir jalan yang abis kesemprot asep knalpot bis dan masih bisa ngerasa nikmat. Aku udah lama banget nggak makan gorengan sejorok ini, mecin yang berlimpah ruah dan ya, ternyata aku kangen. Jajan otak-otak di deket rel kereta itukan debunya kayak apa tau ya, tapi beuh, aku beli sepuluh biji dan habis!
Setiap makan malam bisa satu meja sama papa, sama adek-adek, dan itu hal yang enggak aku punya di Purwokerto. Kami ngobrol banyak banyak, bahas macem-macem, hari minggu main catur terus liat adek ditoyor papa karena payah kalah mulu hahahaha, Jiwo punya waktu berkualitas sama eyangnya, setiap pagi dibangunin papa untuk solat subuh, main smack down sama adek sampe merah-merah, dan itu semua enggak ikut saat aku pulang ke Purwokerto nanti.
Jadi mau seterusnya di Jakarta? YA NGGAK LAH! Purwokerto itu hidupku dan belum ada tempat yang bisa menggantikan posisinya. Setelah pekerjaan-pekerjaan ini selesai, aku akan pulang, kembali ke pelukan tanah ngapak.
Dari kemarin sih buanyak banget yang nyuruh aku pindah ke Jakarta, kerja di sini aja. Ada bagian di hati kecilku yang bilang pengin sih, tapi duh, liat nanti deh. Ini belum ada sebulan aja aku udah sakau Purwokerto, kangen curug, kangen bau tai kambingnya Rempoah, kangen ngegaul di Moro, kangen naik motor kayak pembalap karena gak pernah kena macet, kangen makaroni jalan kampus, kangen kemana-mana cuma seselepetan kolor udah nyampe.
Aku pasti akan pulang ke Purwokerto, tapi sekarang aku belum pengin berpisah dengan ini semua. Semoga nanti saat harinya pekerjaanku selesai, aku betul-betul sudah siap untuk pulang. Ke rumah, ke Purwokerto.
**
"Ayo bang, ke Kukel!"
"Lha tadi katanya gak mau"
"Mau narik gak nih?"
Abang ojek menyela motornya. Sementara aku membereskan headset, mematikan aplikasi musik dan menyimpan semuanya ke dalam tas. Di atas motor ojek, sambil diterpa angin kencang karena aku telanjang kepala, helm abangnya bau apek abis keujanan gak dijemur. Aku lagi-lagi melihat ke langit, bintangnya masih banyak.
Depok, 30 Maret 2017
Comments
Post a Comment