Skip to main content

Untuk Suara-Suara yang Sedang Menangis dalam Kebisuan


http://phinemo.com/mau-jalan-jalan-ke-tanjung-puting-gratis-ikut-lomba-blog-saveorangutan-yuk/


Satu siang, Sujiwo, anakku, melempar tanya.

“Ibu, kalau kita ke kebun binatang, kita bisa digigit buaya?”

“Tidak, sayang. Kan buaya di sana dikurung”

“Di kebun binatang ada dinosaurus?” tanyanya lagi.

“Tidak ada, kan dinosaurus sudah punah. Sudah tidak ada lagi di dunia”

“Kalau dinosaurus masih ada, dia dikurung di kebun binatang juga ya?”

Aku diam. Betul-betul diam karena nggak tau harus jawab apa. Dalam hati, rasanya pengin menyahut cepat “Iya, pasti! Manusia kan memang hobinya mengurung hewan-hewan!”. Tapi nggak mungkin, Jiwo masih terlalu kecil untuk paham soal itu. Aku alihkan perhatiannya, sambil berdoa semoga dia tidak perlu ingat lagi dengan pertanyannya yang satu itu.

Dalam diam, aku mengingat Dennis.


Dennis adalah bayi orang utan Sumatera yang kehilangan segalanya bulan Januari lalu. Ibunya dibunuh di depan mata kepalanya, bocah itu menyaksikan sendiri sang mama merenggang nyawa. Dihabisi tanpa belas kasih sama sekali. Rumahnya tentu sudah diberangus oleh pertumbuhan kebun sawit yang kian hari kian rakus, primata kecil itu sudah lama kehilangan tempat tinggal. Terakhir, ia ditangkap dan dicemplungkan dalam kurungan. Siap untuk dijual.

Tapi barangkali Dennis sedang beruntung, sebulan setelah kejadian itu, Februari, dia ditemukan pihak yang baik. Sekarang, ia aman dalam asuhan sebuah organisasi perlindungan satwa. Dia berhasil diselamatkan sekalipun ibunya tetap mati. Dennis kecil hari ini, sedang memulai hidup baru di rumah yang baru, walau sebagai piatu. 

Tapi Indonesia tentu tak hanya punya satu Dennis. Sumatera dan Borneo adalah ekosistem orang utan terbesar di dunia. Saat Dennis kecil beruntung dan berhasil selamat, sangat mungkin di titik lain, ada bocah-bocah lain yang hanya bisa menatap kosong dalam jeruji besi. Air matanya tak pernah bisa menyuarakan apa-apa. Duduk pasrah dalam kandang sempit tempat mereka akan hidup sampai bertemu pembeli. Meninggalkan jasad ibunya yang tergeletak penuh luka tembak, tanpa pernah tau akan seperti apa hidup barunya kelak.

Ibunya dibunuh, rumahnya dibakar habis, dirinya dikurung lalu dijual.

Brengsek, ya? Oh maaf, aku sungguh-sungguh nggak bisa menahan diri untuk nggak mengumpat. Terbuat dari apa sih hati manusia-manusia itu? Iya tau orang utan hanya hewan, tapikan mereka hidup. Mereka hidup, wahai bapak. Mereka hidup, wahai para pemburu. Mereka masih bayi dan harus menyaksikan ibunya ditembak mati, ditarik paksa dari satu-satunya pelukan yang dia punya, lalu terduduk menangis di kandang sempit.

Ini yang hewan siapa sih sebenarnya?

pic source: thedodo.com

Dan sialnya, lingkaran setan ini terlanjur menjadi biasa di Indonesia. Hutan hujan harus terus diberangus demi perkembangan kebun sawit yang tak kenal setop. Rumah-rumah orang utan dihabisi. Di saat yang sama, pemburu memanfaatkan kesempatan ini untuk mengeruk rupiah. Karena mereka tau, bayi-bayi orang utan selalu bisa dijual puluhan juta. Karena mereka tau, hutan hujan yang tandus membuat orang utan kelimpungan cari makan. Bertandang ke pemukiman warga, mengacaukan situasi, memperkuat alasan untuk boleh membunuh, lalu menjual bayinya.

Kenapa ini semua bisa terjadi?

Duit.

Apalagi?

**

Rasanya bosen, ya, menyaksikan ini semua? Soal keperkasaan kebun sawit melawan lemahnya hutan hujan Indonesia. Kalimantan yang makin hari makin tandus, peta Sumatera yang warna hijaunya tinggal titik-titik kecil. Pembantaian orang utan yang terus dan terus. Semuanya terjadi bertahun-tahun dan kita bisa apa selain nonton? Nggak ada. Ribuan campaign tentang penyelamatan orang utan tak mengubah apa-apa. Perkebunan sawit terus meluas, terus merampas, terus membunuh.

Tahun 2008, Indonesia pernah tercatat dalam Guiness Book of Record sebagai negara dengan tingkat kehancuran hutan tercepat. Kita, Indonesia, menghancurkan luas hutan setara dengan 300 lapangan sepakbola setiap jamnya. Sama sekali gak heran, kalau akhirnya pada 2010, hutan di Kalimantan tersisa sekitar 25,5 juta hektar saja. Nyaris tinggal separuhnya. Itu data tahun 2010 ya, Sekarang 2016, aku mau menghitung kira-kiranya tapi sudah bergidik duluan. Ngeri!

Dua tahun lalu, aku pernah mengikuti lomba blog tentang perjalanan impian, aku menulis tentang 'Tanjung Puting, konservasi, dan suara-suara digital'. Bukan untuk menang, tapi lebih karena aku optimis bahwa orang utan masih bisa punya rumah yang layak. Sebagai blogger yang sering menulis cerita perjalanan, aku percaya, aku bisa banyak bercerita soal Tanjung Puting dan konservasi orang utan. Membuka mata orang-orang tentang bagaimana kehidupan layak orang utan seharusnya.

Namanya Adityo Pegrianto, seorang temanku yang pernah mengabdikan hidupnya di hutan untuk konservasi bayi-bayi orang utan. Dua tahun lalu, aku dan Adit menggodok tulisan itu berdua. Tulisan yang tak meraih kemenangan, tak memberangkatkanku kemana-mana, tapi kami puas dan bahagia telah menuliskannya. Walau sederhana, kami tau kami telah melakukan sesuatu. Kalau pembaca setia blog ini, pasti paham betul tulisan yang aku maksud. Karena sekalipun kalah, tulisan itu tetap berkali-kali aku share di sosial media.

Tulisan yang kalian baca ini sedang mengikuti lomba sejenis. Kali ini persis, temanya 'Save Orang Utan', pemenangnya akan diberangkatkan ke Tanjung Puting, pusat konservasi Orang Utan di Kalimantan. Pemenang lain, berhak atas perjalanan ke Pulau Derawan. Malam sebelum artikel ini ditulis, aku bilang sama Adit, aku masih menyimpan impian pergi ke Tanjung Puting. Aku masih ingin memanen banyak cerita dari sana, dan menuliskannya di blog. Tentang rumah yang baik, yang layak, bagi orang utan. Tulisan di blog, adalah hal kecil yang bisa aku lakukan.

Pic source www.indonesia.travel
Tapi kemudian aku sadar, save orang utan yang digadang-gadang banyak orang tak akan mengubah apa-apa. Kita semua sebenarnya sedang melakukan kesia-siaan. Iya, jujur aja, aku akhirnya menyerah. Menyerah untuk optimis tentang kehidupan orang utan yang lebih baik. Kita melawan korporasi raksasa dengan kekuatan super, hanya dengan tulisan? Hanya dengan campaign-campaign kecil di sosial media? Hanya dengan suara-suara nyaris parau yang semakin hari semakin sunyi. Kita sedang melakukan omong kosong besar-besaran. Buat apa?

Adit cuma tertawa. Dia bilang orang utan nggak butuh aku untuk mengubah dunia. Dengan atau tanpa kita berjuang, satu-satu dari mereka akan tetap dibunuh, akan tetap dipisahkan dari ibunya, akan tetap kehilangan rumahnya. Adit, masih sambil tertawa, cuma bilang satu hal.

“Tulis. Lo harus menang, lo harus berangkat ke Tanjung Puting. Lo ketemu langsung sama orang utan di sana, lihat mereka dengan mata lo sendiri. Nanti lo akan tau, kalau hal-hal kecil yang lo anggap omong kosong ini, berarti besar dan punya masa depan. Lo masih manusia, kan? Ini soal hati, Pung..”


**

Sekarang pukul sebelas malam dan Adit baru menyelesaikan telepon keduanya. Seperti dua tahun lalu, setiap debat panjang kami soal orang utan, pasti selalu diakhiri dengan air mataku. Air mata egois seorang manusia, yang menyerah jauh sebelum melawan.

Adit tau dia sedang melawan raksasa, monster malah. Adit tau dia tak pernah bisa mengubah dunia. Hutan hujan kita akan terus habis, akan terus diberangus. Orang utan akan terus terbunuh. Tapi Adit juga tau, dia tidak diam. Setidaknya dia pernah melakukan sesuatu sekalipun kecil, sekalipun sederhana. Dia tidak memutuskan diam, dan baginya itu lebih baik daripada hanya menonton dan melempar kasihan. Karena sesungguhnya ini semua soal hati.

Tulisan ini mungkin nggak akan membawaku kemana-mana, nggak juga menyelamatkan apa-apa. Tapi barangkali aku bisa mengantar optimisme Adit pada kalian, kujadikan itu sebagai tujuan. Aku blogger, maka aku bersuara lewat tulisan. Inilah hal kecil yang aku lakukan, inilah optimisme kecil untuk hari baik bagi Dennis dan teman-temannya.

Saat kalian membaca ini, mungkin dunia kalian sedang baik-baik saja. Rumah yang hangat, teh manis panas, nasi yang mengepul siap dimakan, dan anak-anak yang bisa dipeluk kapan saja. Di saat yang sama, ada bayi-bayi yang ketakutan dalam kandang, yang kelaparan, yang kehilangan ibunya, yang menangis tanpa suara.

Ini terdengar klise, tapi percayalah, pasti masih ada yang bisa kita lakukan. Mari, selamatkan Orang Utan. Minimal kita tidak diam, mewakili suara-suara mereka yang sedang menangis dalam kebisuan.
***

Sumber:
http://www.wanicare.com/news/baby-orangutan-dennis
http://www.wwf.or.id/program/spesies/orangutan_kalimantan/
http://world.mongabay.com/indonesian/orangutan.html
http://orangutan.or.id/ID/east-kalimantan-orangutan-reintroduction-and-land-rehabilitation-program-at-samboja-lestari/
http://travel.kompas.com/read/2013/04/26/15483553/Tanjung.Puting..Konservasi.Orangutan.Terbesar.di.Dunia
http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/releases/indonesia-dicatat-dalam-buku-r/
http://en.wikipedia.org/wiki/Orangutan

Comments

Popular posts from this blog

Menginap di Amaris Hotel Pancoran, Siapa Suruh Datang Jakarta!

Setiap ke Jakarta dan menginap di hotel, aku jadi punya kesukaan baru. Buka jendela malam-malam dan menonton pertunjukan bernama ibukota. Diam di sana, berlama-lama, dan menyaksikan banyak drama. Yang pada akhirnya mengantarku pada syukur, bahwa hingga hari ini, aku masih hidup di desa. Tuhan maha baik. --- Tinggal jauh dari ibukota juga membuatku kenal dekat dengan sebuah makhluk abstrak bernama kangen. Sahabatku, banyak yang tinggal di Jakarta, mengadu hidup di sana. Dan terpisah 7 jam kereta api dengan mereka, ternyata malah membuatku menghargai setiap pertemuan. Mengajarkanku betapa berharganya setiap kesempatan yang aku punya untuk berangkat ke sana. Minggu lalu, kesempatan itu datang lagi, pergi ke ibukota. Yay. Penuh haru banyak noraknya, aku mengemas barang untuk dua tujuan: menghadiri pesta pernikahan Cablo dan kopi darat dengan rombongan ibu-ibu blogger super-rempong.  Tujuan pertama adalah seorang teman lama yang punya nama asli Reka, kupanggil Cablo karena dia memang Canti

Cantiknya Kain Besurek Khas Bengkulu

Kain yang aku pakai itu, kain Besurek khas Bengkulu. Cantik banget yaaa.. Eh, apa? Kain Besurek nggak boleh dijadikan rok? Nggak sopan? Kenapa? Boleh, kali. Motif yang ada pada kain Besurek, itu hanya ornamen yang menyerupai huruf arab gundul, dan enggak ada artinya. Jadi BUKAN ayat suci Alquran, ya! Meskipun, he euh, Besurek secara harafiah berarti bersurat atau tertulis. Tapi menurut kak Asnody, guide yang menemaniku waktu di Museum Negeri Bengkulu, motif pada kain Besurek itu enggak membentuk kalimat dan enggak bisa dibaca. Jadi ya memang bukan surat dalam Alquran, hanya ornamen yang menyerupai. Saking noraknya si Pungky, aku baru tau sebulan yang lalu kalau Bengkulu punya kain khas yang namanya kain Besurek ini. Waktu pertama kali lihat kain ini di Museum Negeri Bengkulu, aku melengos gitu aja karena sekilas kelihatan biasa aja. Cuma kain yang bermotif huruf arab gundul. Pun warnanya, yang dipajang di museum, kelihatan kuno di mataku. Jadi aku lebih tertarik nyantroni temen-temen

7 Alasan Kenapa Aku Jatuh Hati pada ASUS Zenfone 3

Bosen nggak sih liat aku terus-terusan pamer ASUS Zenfone 3 di sosmed? Bhahahaha Ya gimana dong, aku betul-betul jatuh hati smartphone ini. Bahkan gak cuma aku, di rumah, ASUS Zenfone 3 ini jadi primadona. Enggak bisa deh dipakai satu orang dalam waktu yang lama. Kalau seminggu aku pakai, minggu depannya pasti diculik suamiku. Penginnya sih punya satu-satu ya, tapi kan kami enggak kentut duit. Yaudahlah satu aja dipakai berdua. Itu smartphone apa sabun mandi? Seri yang aku bahas kali ini adalah ZE552KL . Ini nih, 7 alasan kenapa aku jatuh hati sama ASUS Zenfone 3: 1. Kaca Belakang yang Berkilau Bukan, bukan kaca belakang buat atret, lukata angkot. Jadi, case bagian belakang ASUS Zenfone 3 ini terbuat dari crystal glass . Dan kalau kena cahaya, asli, dia berkilau! Beberapa orang nggak suka sama hal ini karena bikin cepat kotor. Karena sidik jari apalagi saat tangan berkeringat, pasti nempel dan meninggalkan kesan dekil. Tapi aku mah suka banget. Karena kalau lagi selfie siang bo