Skip to main content

Review: Film 3 Srikandi, Inspirasi yang Manusiawi


Saat duduk dan berhadapan dengan layar bioskop, pikiranku udah menebak-nebak tentang jalan cerita dan gimana-gimana film 3 Srikandi. Ya standar sport movie, sepanjang cerita akan penuh dengan inspirasi tentang perjuangan yang penuh konflik, lalu ditutup kemenangan besar. Nyatanya, aku salah. Salah banget. Karena film ini sanggup membuatku ngakak jaya dan merinding terharu dalam satu waktu. Surprisingly, komedi itu hadir dari seorang Chelsea Islan yang mana biasanya imut-imut dan lemah gemulai. A big waw!



Judulnya 3 Srikandi, film yang mengangkat tentang medali pertama Indonesia di kancah olimpiade. Diangkat dari kisah nyata tahun 1988. Pejuangnya, adalah tiga atlet panah perempuan bernama Nurfitriyana Saiman (Bunga Citra Lestari), Lilies Handayani (Chelsea Islan), dan Kusuma Wardhani (Tara Basro) di bawah pelatih Donald Pandiangan (Reza Rahadian). Iya betul, abang Rezanya akoh :')

Jalan ceritanya sih ketebak, ya. Setiap atlet punya konflik masing-masing, sampai akhirnya mereka berhasil mencapai impian untuk bertanding di Olimpiade Seoul 1988 dan meraih medali pertama untuk Indonesia. Yana dengan ayahnya yang gak suka dia memanah, Lilies dengan cintanya, Suma dengan tanggung jawabnya sama keluarga, dan bang Pandi dengan konflik politisnya sama negara. Tapi menjadi seru karena sang sutradara mampu mengemas film menjadi sport movie yang lain dari biasanya. Halah bahasaku serius nemen.


Kita enggak dicekoki dengan perjuangan yang serius dan kaku. Sebaliknya, film ini menawarkan inspirasi yang manusiawi. Tiga srikandi itu, biarkata atlet nasional, ya tetep gadis-gadis biasa. Berjuang untuk negara gak bikin mereka lupa slengean. Mereka ditempa panas dan hujan, dilatih keras sekalipun perempuan, mereka bercucur keringat, mereka berjuang keras untuk Indonesia. Tapi teteeeeep, mereka juga kabur dari latihan, ngambek sama pelatih, dihukum malah ngedumel, ngebandel, atau cecintaan khas anak muda. Ada satu adegan dimana Lilies mau naik angkot aja pas lari pagi, dan aku rasanya pengin nyubit Chelsea Islan sampe biru :))

Penonton dibawa untuk melihat mereka sebagai pejuang yang sederhana. Gigih tapi gak ngoyo, gak ambisius bikin kita bergelora, atau maksa kita untuk ngewow sama ceritanya. Setiap adegan terasa ringan dan menghibur, selow tapi dapet maknanya. Badeway ngewow ki opo tho?

Akting para pemain dalam film ini, memang harus diakui, jempol banget. Ya kalo abang Rezanya aku mah enggak usah dibahas juga semua tau ya. Dia mah meranin apa juga bagus, tetep bintanglah di hatiku aktingnya. Tapi BCL dooong, sukses banget membawakan peran Yana yang dewasa dan penuh wibawa. Konflik dia dengan ayahnya, enggak dimainkan berlebihan tapi sukses menguras emosi. Tara Basro, yang diam-diam menghanyutkan. Dan tentu aja juaranya Chelsea Islan, cah Suroboyo yang medoknya terdengar menghibur. Keliatan dia berjuang banget buat masuk ke peran Lilies, sepanjang film tuh jadi nunggu-nunggu polahnya dia karena pasti bikin ngakak. Matek aku!

Setting 80an juga bisa dibilang berhasil. Selain tone film yang kecokelatan dan terkesan jadul, Iman Brotoseno sebagai sutradara, doi jeli memasukan detil-detil yang 80an banget. Ungkapan-ungkapan yang hits pada jamannya, sampai pemilihan lagu yang ya emang lagu pada waktu itu. Ya gak tau ya persis banget 80an apa enggak, tahun itukan aku masih berbentuk zigot. Tapi sebagai penonton, aku bener-bener kayak ditarik ke jaman dulu. Paragrafnya pake 'doi' banget btw? :)))

Di akhir, film ini ditutup dengan sangat emosional. Aku belum pernah dengar teriakan IN-DO-NE-SIA sedahsyat itu. Baik di rumah, nobar di bawah pohon, maupun langsung di arena laga, semua teriak sama-sama. Semua menyemangati Indonesia dan itu terlihat tulus. Bikin merinding. Banget. Duh, aku mah apa, tayangan olimpiade Rio 2016 aja aku tinggal bobo gemas.

Secara keseluruhan, film ini sangat layak tonton. Belajar sejarah tanpa mumet, bikin cinta Indonesia tanpa maksa, dan tentunya, ngeliatin abang Reza nya aku yang galak-galak ngangenin. 



Purwokerto, 11 Agustus 2016

Bahkan rencananya besok aku mau nonton lagi karena kangen sama polahnya Bang Pandi Lilies. Siapa mau ikot? :D

Comments

Popular posts from this blog

Menginap di Amaris Hotel Pancoran, Siapa Suruh Datang Jakarta!

Setiap ke Jakarta dan menginap di hotel, aku jadi punya kesukaan baru. Buka jendela malam-malam dan menonton pertunjukan bernama ibukota. Diam di sana, berlama-lama, dan menyaksikan banyak drama. Yang pada akhirnya mengantarku pada syukur, bahwa hingga hari ini, aku masih hidup di desa. Tuhan maha baik. --- Tinggal jauh dari ibukota juga membuatku kenal dekat dengan sebuah makhluk abstrak bernama kangen. Sahabatku, banyak yang tinggal di Jakarta, mengadu hidup di sana. Dan terpisah 7 jam kereta api dengan mereka, ternyata malah membuatku menghargai setiap pertemuan. Mengajarkanku betapa berharganya setiap kesempatan yang aku punya untuk berangkat ke sana. Minggu lalu, kesempatan itu datang lagi, pergi ke ibukota. Yay. Penuh haru banyak noraknya, aku mengemas barang untuk dua tujuan: menghadiri pesta pernikahan Cablo dan kopi darat dengan rombongan ibu-ibu blogger super-rempong.  Tujuan pertama adalah seorang teman lama yang punya nama asli Reka, kupanggil Cablo karena dia memang Canti

Cantiknya Kain Besurek Khas Bengkulu

Kain yang aku pakai itu, kain Besurek khas Bengkulu. Cantik banget yaaa.. Eh, apa? Kain Besurek nggak boleh dijadikan rok? Nggak sopan? Kenapa? Boleh, kali. Motif yang ada pada kain Besurek, itu hanya ornamen yang menyerupai huruf arab gundul, dan enggak ada artinya. Jadi BUKAN ayat suci Alquran, ya! Meskipun, he euh, Besurek secara harafiah berarti bersurat atau tertulis. Tapi menurut kak Asnody, guide yang menemaniku waktu di Museum Negeri Bengkulu, motif pada kain Besurek itu enggak membentuk kalimat dan enggak bisa dibaca. Jadi ya memang bukan surat dalam Alquran, hanya ornamen yang menyerupai. Saking noraknya si Pungky, aku baru tau sebulan yang lalu kalau Bengkulu punya kain khas yang namanya kain Besurek ini. Waktu pertama kali lihat kain ini di Museum Negeri Bengkulu, aku melengos gitu aja karena sekilas kelihatan biasa aja. Cuma kain yang bermotif huruf arab gundul. Pun warnanya, yang dipajang di museum, kelihatan kuno di mataku. Jadi aku lebih tertarik nyantroni temen-temen

7 Alasan Kenapa Aku Jatuh Hati pada ASUS Zenfone 3

Bosen nggak sih liat aku terus-terusan pamer ASUS Zenfone 3 di sosmed? Bhahahaha Ya gimana dong, aku betul-betul jatuh hati smartphone ini. Bahkan gak cuma aku, di rumah, ASUS Zenfone 3 ini jadi primadona. Enggak bisa deh dipakai satu orang dalam waktu yang lama. Kalau seminggu aku pakai, minggu depannya pasti diculik suamiku. Penginnya sih punya satu-satu ya, tapi kan kami enggak kentut duit. Yaudahlah satu aja dipakai berdua. Itu smartphone apa sabun mandi? Seri yang aku bahas kali ini adalah ZE552KL . Ini nih, 7 alasan kenapa aku jatuh hati sama ASUS Zenfone 3: 1. Kaca Belakang yang Berkilau Bukan, bukan kaca belakang buat atret, lukata angkot. Jadi, case bagian belakang ASUS Zenfone 3 ini terbuat dari crystal glass . Dan kalau kena cahaya, asli, dia berkilau! Beberapa orang nggak suka sama hal ini karena bikin cepat kotor. Karena sidik jari apalagi saat tangan berkeringat, pasti nempel dan meninggalkan kesan dekil. Tapi aku mah suka banget. Karena kalau lagi selfie siang bo