Semangat berapi-api untuk menuruni air terjun dengan seutas tali sambil difoto sok gagah trus pamer-pamer di sosial media, seketika menciut sampai level kutu rambut saat aku betul-betul berhadapan dengan sang air terjun. Esumpah gitu kudu gelantungan di tebing 12 meter cuma pakai tali? Berbekal life jacket, helm, dan pengaman lutut serta sikut, satu persatu peserta mulai turun. Aku mengambil giliran terakhir, sambil memberi ultimatum pada seluruh operator,
“Pokoknya kalau aku takut, aku cuma mau foto sok keren pakai tali abis itu kalian harus seret naik lagi. Gak mau tau!”

Sampai giliran itu tiba, ternyata enggak ada kompromi. Semua pengaman sudah dipasang dan enggak ada yang peduli kalau aku pucet njelipet. Mau gak mau, ikhlas gak ikhlas, berani gak berani, harus turun. Aku mulai menggenggam tali erat-erat, komat-kamit takut, sambil tetep cengengesan ke kamera supaya fotonya tetep hits. Hahahahaha takut mah takut, urusan narsis beda cerita.
“Badan dulu dijatohin pelan-pelan, baru kaki cari pijakan. Jadi kayak posisi mau tidur..”
Seorang operator memberi titah. Posisi tidur dari hongkong! Ini mana tali mana kaki aja, aku udah enggak tau. Dredeg, gemeter, jiper. Boro-boro mikirin cari pijakan, konsentrasiku saat itu cuma ke dua hal: kamera di tangan fotografer dan kebelet pipis banget.
Dua belas meter, cuy. Dari bawah keliatan pendek dan gancil, tapi kalau udah di atas dan harus turun, jantung pindah ke jidat sudah tidak diragukan lagi.
Sebelum turun, aku sempet inget statusnya mbak Sha, si pendaki cantik yang punya pengalaman malang melintang jungking-jungking di dunia beginian. Statusnya udah bertahun-tahun yang lalu, tapi aku masih ingat betul. Katanya, di saat beginilah Gusti terasa sangat dekat. Kalau di tempat ibadah, kita masih bisa cengengesan, bercanda sana sini. Tapi saat hidup mati kita bergantung pada seutas tali, berserah diri pada Yang Maha Memiliki adalah jalan terakhir. Terasa banget bahwa hanya Dia satu-satunya pertolongan yang kita punya.

Bersama kebelet pipis yang luar biasa banget, aku melewati air terjun 12 meter. Turun, pakai tali. Istilah bagusnya itu rappelling, istilah aku nya, gelantungan kayak monyet salah ambil jalan pulang. Yak, sip.
Ke-keren-anku menuruni tebing tinggi dengan tali adalah bagian dari kegiatan River Trip yang diadakan oleh Canyoning Indonesia dan Banyumase. Keren wasairen. Kami, para peserta, dipersilakan untuk menyusuri Kali Pelus berkendara badan sendiri. Kebayang? Menyusuri sungai pakai badan. Satu-satunya bantuan yang ada hanyalah: yakin.


Sekalipun alirannya tenang dan ramah, sungai tetaplah sungai. Penuh bebatuan dan jalurnya tak bisa dibuat-buat. Kami berenang di air yang dinginnya masa ampun, berjalan melewati bebatuan licin, dan semuanya tetap dengan badan sendiri. Ketemu jalur menurun? Sliding! Kami telentang di bebatuan dan meluncur bersama aliran air. Ketemu air terjun kecil? Lompat! Kalau gak berani lompat, bisa memilih opsi yang aku pilih; pencet hidung, pejamkan mata, lalu dilempar oleh operator. Hahahaha tau gitu gue lompat aja sendiri, mas bro!
Kegiatan ini juga bekerja sama dengan beberapa komunitas dan media seperti @surgakecil(HUATCIM!!), @visitpurwokerto, @explorebanyumas, @cliffjumpingpwt, Raden Pala, dan sisanya aku lupa. Haha. Semuanya turun ke air, semuanya menyusuri Kali Pelus, semuanya basah.


Eh, tau Kali Pelus kan? Sungai ini adalah aliran yang membawa air dari kaki Gunung Slamet menuju Banyumas. Aliran yang menghidupi kami setiap hari. Yang menyalakan debit curug-curug kebanggaan Baturraden. Yang membuat Purwokerto kami selalu sejahtera secara alam, pangan, dan kehidupan.
Selepas kurang lebih dua jam perjalanan menembus Kali Pelus, kami sampai di Kedung Nila. Kolam besar yang menjadi akhir perjalanan sungai kami, sekaligus tempat pisang rebus, wedang jahe, dan nagasari menunggu dengan sip. Akhir perjalanan adalah apa yang aku kira, padahal ternyata Kedung Nila ini adalah awal dari kejutan selanjutnya. Jeng jeng jeng, rappellingmenuruni Sendhang Bidadari!
Deg.
Kalau pembaca blog aku, pasti ingat dong sama Sendang Bidadari? Air terjun super-indah yang konon, menjadi tempat pemandian para bidadari. Indah kalau dari bawah, kalau dari atas, eng… ya gitu deh. Bikin hasrat kebelet pipis naik ke tingkat rappelling sambil ngompol! Muahahahahaha Jadi kan turunnya bareng air terjun tuh, nah, kalau airnya mendadak hangat dan asin, mungkin yang lagi rappelling sedang mengalami peningkatan hasrat kebelet pipis. *ngakak kemayu*

Setelah melewati adegan menyerahkan nyawa pada tali di Sendhang Bidadari, peserta dipersilakan menuju ke meeting point untuk makan siang. Hidangannya, demi apapun, uenak buanget. Ayam goreng, sayur pakis yang dicampur kecombrang dan pete, plus sambel terasi. Itu makan siang paling enak aku selama 2016. Hahahahaha Ya udahlah dingin, capek, siang bolong, hujan pula. Makan di pinggir sawah dengan menu desa adalah klimaks.
Tapi walaupun capeknya minta maap, aku ketagihan sama kegiatan macem begini. Betul-betul ruang untuk menikmati Banyumas sekaligus menantang nyali diri sendiri. Menyadari kalau Banyumas indahnya luar biasa, Kali Pelus yang ramah sekaligus gagah, menit-menit dimana Gusti terasa sangat dekat, medan-medan yang bikin kita ngeh kalau manusia sangatlah kecil dan bukan apa-apa, kesombongan yang merosot bersama nyali yang ciut, makan siang rasa Indonesia yang enaknya luar biasa, dan tentu aja juaranya adalah: pipis sambil rappelling. Kapan lagi?
Comments
Post a Comment